Xenofeminisme merupakan sebuah pendekatan baru yang belum populer untuk sebagian besar pengkasi teori feminisme di Indonesia. Ia seperti belum dianggap sebagai bagian dari teori (kanon) untuk kajian perempuan, melainkan sebuah proyek yang dikerjakan dengan asumsi bahwa setiap masyarakat yang hendak membangun diri akan menggunakan feminisme sebagai prinsip fundamental. Proyek ini dikembangkan oleh Laboria Cuboniks, yang mendasarkan diri pada tiga pokok pemikiran, yaitu teknomaterialisme, antinaturalisme, dan gender abolisi(onisme).
Laboria Cuboniks adalah nama kolektif bagi enam feminis di balik Xenofeminisme. Mereka tersebar di lima negara dan tiga benua berbeda, bekerja di jaringan maya untuk meredefinisikan kembali makna feminisme dalam kontaks abad ke-21. Proyek ini menunjukkan upaya untuk menggambarkan spekukasi masa depan. Nah, gagasan tentang spekulasi ini pula yang tampaknya menjadi benang merah antara pemikiran Xenofeminisme dan pameran Natasha Gabriella Tontey bertajuk “Almanak” di Cemeti Institute for Arts and Society pada 5-30 Juni 2018.
Sebagai bagian dari generasi seniman yang melihat budaya pop dan dunia digital sebagai lingkungan budaya yang melingkupi dirinya, Natasha Tontey menunjukkan bagaimana seniman bisa bersikap kritis sekaligus produktif terhadap dua hal tersebut. Mempelajari desain grafis sebagai pendidikan formalnya di Universitas Pelita Harapan Jakarta, Tontey terlatih untuk membangun logika visual dan melihat setiap elemen, seperti warna, garis, dan bentukan, sebagai pernyataan simbolis.
Dengan latar belakang semacam ini, ada kecenderungan bahwa bagi Tontey, membangun narasi di dalam ruang pameran tidak selalu didasarkan pada penciptaan obyek atau pemajangan gambar, melainkan juga menampilkan elemen-elemen visual itu secara kuat. Tawaran bahasa visual Tontey sangat dekat dengan bentuk-bentuk budaya populer: interior, desain grafis, periklanan, animasi dan lainnya.
Dengan referensinya terhadap Xenofeminisme, Tontey menggunakan penekanan terhadap beberapa simbol yang cenderung feminin, dilekatkan sebagai identitas perempuan yang cenderung stereotipikal dalam media massa, justru dalam upaya untuk mempertanyakan kemapanan simbol tersebut. Tembok luar bangunan Cemeti Institute for Arts and Society ia ubah tampilannya menjadi berwarna merah muda mencolok. Pilihan untuk menggunakan warna merah muda itu di satu sisi mau memberikan posisi politis untuk identitas perempuan yang feminin dan stereotipikal agar ia menjadi “sungguh tampak” (visible) dan kita bisa mulai membicarakan isu-isu yang muncul dari pertentangan simbol tersebut.
Di sisi lain, warna ini juga mengesankan pendekatan kitsch yang kemudian diolah Tontey sebagai bahasa visualnya, mengesampingkan posisi desain sebagai representasi seni non-murni. Ia justru secara cair membuat batasan seni murni dan non-murni dengan sendirinya melebur di ruang pameran. Dengan cerdas, Tontey membangun definisinya sendiri atas makna dari seni kontemporer, dengan pendekatan yang genuine dari pencariannya atas bahasa visual yang sungguh dia kenal.
Latar belakang proyek Tontey sendiri memang sangat personal. Ia bertolak dari pengalamannya mengunjungi beberapa paranormal, dukun, atau para pembaca zaman untuk melihat kemungkinan masa depannya. Dari arsip masa depan inilah ia melihat bahwa ramalan-ramalan yang ia temukan masih sangat bergantung pada norma sosial dan struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Pada akhirnya hal itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan sendiri bagi yang melihat, “Akankah seseorang bisa memprediksi masa depan tanpa intervensi dari perbedaan masa lalu dan masa kini? Apa artinya masa depan alternatif bagi seseorang?”
Konteks ini muncul dalam video utama yang diputar seperti ruang video personal. Rekaman video Tontey bertemu paranormal dari beberapa tempat ini digabungkan dengan animasi yang memaai figur diri Tontey sebagai tokoh yang menjelajahi wilayah virtual dan ruang angkasa, teknologi masa depan bertemu dengan citraan yang nyaris purba seperti kecoa. Video ini mewakili jargon klise “feminisme sebagai perspektif”, di mana Tontey menempatkan simbol-simbol semacam sepatu hak tinggi dan perhiasan sebagai representasi ruang. Feminis masa kini yang hidup dalam ruang teralienasi.
Video lain adalah modifikasi konseptual atas bentuk iklan. Tontey menjual produk sabun batangan menggunakan video animasi menampilkan sosok-sosok perempuan yang mendekonstruksi ukuran kecantikan yang selama ini dianggap lazim-kulit putih, rambut hitam panjang, serta makeup yang rapi dan elegan. Perempuan dalam video ini sebaliknya, berkulit hitam, menggunakan makeup menor, dan tampil dengan tata rambut yang seperti ketinggalan zaman. Cara tampilannya juga menarik: tiga layar televisi digeletakkan di atas lantai.
Di dinding ruang pamer, Tontey memajang poster-poster yang membentuk narasi dan reflesi atas biografi dirinya; sebuah usaha untuk memetakan masa lalu dan masa kini, serta bagaimana ini semua membuatnya tertarik pada spekulasi masa depan. Sebuah boneka kecoa yang tergeletak di sudut ruangan. Tepatnya, ia adalah sebentuk kostum yang sesekali bisa kita kenakan untuk menyembunyikan diri, menyelinap masuk ke dalam huru-hara dunia, menjadi sesuatu yang seperti tak ada. Tapi, bagi Tontey, kecoa adalah simbol keabadian; ia bertahan dalam berbagai perubahan semesta, beradaptasi dengan berbagai serangan dan bencana.
PUBLISHED at KORAN TEMPO 4 JUNE 2018
https://koran.tempo.co/read/432240/merayakan-feminisme-baru