Tulisan ini saya ramu dari dinamika Wips! (Work-in-Progress) tertutup Natasha Gabriela Tontey, yang dilaksanakan pada 7 Juli 2014, di indonesia Contemporary Art Network (iCAN). Saat itu Tontey sedang menjalani residensi di Yogyakarta untuk berpameran bersama beberapa seniman muda lain. Pameran bersama tersebut bertajuk “Youth of Today” yang dibuka pada 11 Juli 2014 di Ruang Mess 56. Dalam proses kreatifnya, Tontey tertarik untuk mengkerangkai karyanya dengan tema “bunuh diri dan kematian”. Ia merencanakan karya instalasi yang dibangun dari teks, still image, dan moving image. Tontey coba menggabungkan antara seni sastra, fotografi, dan video. Berikut adalah eksplanasi konsep dari Tontey.
Tontey mengaku hidupnya di Jakarta sangat membosankan, “80% waktuku habis untuk bekerja dengan orang dan 20% lagi untuk diriku sendiri.” Namun ketika singgah di Yogyakarta, ia merasa punya waktu lebih untuk mengembangkan ide-ide personal—yang terhubung dengan kenyataan sosial—menjadi karya seni. Dari latar itulah Tontey kemudian tertarik untuk mengeksplorasi pengalaman pribadi yang dikomparasikan dengan keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup (baca: bunuh diri).
Tontey mengupayakan sebuah riset kecil. Ia menggunakan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Ia mewawancarai beberapa orang yang pernah ingin melakukan aksi bunuh diri, ahli psikologi, fotografer forensik dan beberapa orang yang tertarik dengan tema yang diusungnya. Tontey bertanya: “If death is a permanent end of our existence, can we start it earlier?” [Jika kematian adalah sebuah ketetapan akhir dari kehidupan kita, dapatkah kita memulainya lebih awal?]. Agama dan budaya di Indonesia menganggap upaya untuk mempercepat kematian (baca: bunuh diri) sebagai dosa. “Bunuh diri adalah pilihan bebas di hadapan nilai-nilai lain yang bertentangan,” demikian Tontey menyampaikan statement-nya. Lebih jauh, melalui karyanya, Tontey tidak hanya ingin menganggap bunuh diri sebagai pilihan, namun juga bertanya bagaimana seseorang membuat keputusan untuk mengakhiri hidupnya.
Melalui pengadukan antara fakta dan fiksi, Tontey merekreasi surat-surat dari beberapa pelaku bunuh diri. Surat-surat buatan yang diberi judul “Letters from the Cloud” [Surat-Surat dari Awan] dibukukan, dikemas hardcover dengan huruf-huruf yang dicetak white-on-white. Dalam penyajiannya, Tontey mengharuskan pengunjung mengenakan sarung tangan karet yang telah disediakan untuk menyentuh dan membacanya. Tontey membayangkan kumpulan surat tersebut sepeti “barang bukti”.
Namun Letters hanyalah salah satu elemen dari karya instalasinya. Tontey masih punya dua elemen lain, yakni still image/foto dan video. Tontey menyandingkan beberapa still image dengan nukilan kalimat dari surat-surat itu di atas tembok.
“kumpulan surat orang bunuh diri […] aku buat tidak semuanya benar, maksudnya aku bikin ulang, ditulis ulang sesuai dengan kalimat-kalimat yang aku mau untuk membangun suatu cerita baru. Kemudian beberapa yang ada di sini, misalnya cerita ini akan ditampilkan di dinding dengan cetak “white-on-white” juga tapi ada image-nya. Image-nya itu bukan ilustratif tapi memancing orang untuk berpikir lagi tentang tulisan-tulisan ini.”
Tontey dalam satu image-nya menampilkan cermin kecil yang bersanding dengan nukilan berikut: “I thought life was more than this. But the world seems not accepting talentless.” [Kukira dunia tidak sesempit ini. Tapi dunia seperti tidak menerima orang-orang yang tidak berbakat]. Di situ Tontey coba memainkan majas, baik majas rupa maupun teks. Dengan artikulasi serupa itu, Tontey boleh jadi berhasil mengajak orang berpikir ulang, karena di depan cermin tersebut, penonton akan melihat wajahnya sendiri. Beberapa penonton mungkin akan tersenyum, beberapa lagi bisa jadi tersindir karena merasa identik.
Sementara video sebagai latar depan untuk memasuki keseluruhan karya instalasi Tontey, dimaksudkan untuk membangun suasana. Tontey mengambil materi video dari footage-footage film, di antaranya: Alice in Wonderland, Taste of Tea. Dari footage-footge tersebut, Tontey kemudian membangun kolase. Menurut Tontey, beberapa footage mungkin tidak secara langsung menggambarkan orang bunuh diri, tapi bisa dimaknai sebagai kejadian bunuh diri. Lebih lanjut, dalam video art-nya tersebut Tontey juga merasa perlu menambahkan musik yang mampu membangun suasana ironik. Tontey ingin menambahkan musik dengan nada ceria yang beriring dengan footage-footage film yang lebih terkesan murung.
Dalam Wips! Tontey, hadir beberapa penyimak dari latar belakang yang beragam, di antaranya: St. Sunardi (Dosen Ilmu Religi dan Budaya Sanata Dharma), Charlie Meliala (Musisi), Syaifatudina (Peneliti KUNCI Cultural Studies), dan Tamara Pertamina (Seniman). Mereka mengajukan pertanyaan dan tanggapan yang menarik untuk dicatat. St. Sunardi misalnya, yang merasa harus hati-hati mengomentari konsep karya yang dipaparkan Tontey. “Gagasan Tontey menantang,” kata Sunardi, “karena berangkat dari pengalaman pribadi, dan tak satupun dari kita benar-benar bisa mengikuti kecuali pernah mengalami dorongan untuk bunuh diri.”
Kendati demikian, ungkap Sunardi lagi, yang menarik dari artikulasi artistik Tontey adalah karyanya tidak ditujukan untuk menakut-nakuti, bahwa mati dan kematian itu menyeramkan. Tontey menunjukan ini untuk mengajak orang berpikir ulang soal kematian. Adalah pendekatan yang unik untuk melihat kehidupan dari sisi kematian. Kematian adalah sangat dekat dengan kehidupan kita. Setiap hari kita tahu selalu ada orang yang mati, tapi pembicaraan tentang kematian cenderung dihindari. Padahal kematian hadir dalam keseharian kita. Kematian dekat dengan kita. Dengan demikian, menghubungkan diri atau memfokuskan diri untuk mendekati kematian sesungguhnaya ialah cara lain untuk mendekati kehidupan, yang darinya kita akan mendapatkan pengalaman baru, pengetahuan baru perihal apa itu hidup dan bagaimana hidup harus kita jalani. Pendekatan kehidupan melalui kematian seperti yang dilakukan Tontey, menurut Sunardi, akhirnya akan menghasilkan “reorientasi kehidupan yang baru sama sekali, yang tak terpikirkan sebelumnya. Inilah yang bagi saya menarik.”
Selanjutnya, Sunardi menawarkan dua aksentuasi yang bisa dipilih Tontey sebagai fokus: pertama, kondisi dunia yang membuat kita ingin mati. Ini mengacu pada bunuh diri sebagai simptom, penyakit, yang mana terpicu dari kondisi tertentu. kedua, kondisi dunia yang membuat kita pasti mati. Ini dengan kata lain, kematian sebagai sebuah kepastian atau satu-satunya kepastian dalam kehidupan. Aspek yang kedua ini mungkin terlalu berbelit. Sunardi cenderung menyarankan Tontey untuk fokus pada aksentuasi yang pertama, yang masih bisa konfirmasi secara empiris dan investigatif.
Syaifatudina menimpali salah satu poin yang disampaikan St. Sunardi di muka. Ia menyodorokan pembacaannya atas ontologi Giorgio Agamben tentang kekecewaan. Sebuah gerak baru akan muncul di tengah kekecewaan terhadap beberapa aspek dari kehidupan. Namun gerak ini tidak melulu membuncah sebagai hal yang semata negatif. Misalnya pikiran untuk bunuh diri sebagai wujud dari kekecewaan terhadap kehidupan. Jika hal ini berhasil dihindari dengan sedemikian rupa sehingga sisi produktif dari percobaan ini mengemuka sebagai reorientasi baru atas kehidupan itu sendiri yang tentu saja berbeda dengan sudut pandang kita sebelumnya. Syafatudina berharap, “karya Tontey berlanjut pada pembentukan cara hidup yang berbeda-beda.”
Dalam kesempatan yang berbeda, Tamara Pertamina mengungkapkan kesepakatannya dengan pendapat Tontey bahwa bunuh diri merupakan pilihan bebas. Namun, Tamara memiliki pendapat lain menyangkut dasar dari keputusan bunuh diri yang diambil seseorang. Menurutnya aksi itu lebih disebabkan oleh faktor individual. Jelasanya, seseorang melakukan bunuh diri karena gagal menerima keberadaan dirinya, bukan karena dunia tidak menerima keberadaanya. Kegagalan semacam itu, bisa kita baca pula sebagai kegagalan seseorang dalam menyiasati kenyataan hidup yang keras dan menyesakkan.
Setelah Tamara, Charlie Meliala ikut berbagi pandandan. Dengan merujuk pada sebuah lagu yang cukup fenomenal, Gloomy Sunday , Charlie membuka paparannya: “banyak orang menganggap lagu itu sebagai kekalahan, tapi lagu itu sebenarnya menawarkan sebuah pengharapan baru.” Dari situ kemudian Charlie coba memaparkan tiga alasan kenapa seseorang terdorong untuk bunuh diri. Pertama, bunuh diri merupakan wujud dari kekecewaan. Ini adalah satu tafsir dalam kungkungan pesimisme terhadap kehidupan. Kedua, adalah tafsir bahwa seseorang merasa tidak memiliki harapan lagi, kondisi atas hidup yang seolah tak punya makna lagi. Inilah nihilisme, satu gerak pikir yang bisa jadi mengantarkan orang pada penilaian bahwa hidup sudah tidak layak untuk dijalani. Ketiga, bunuh diri yang berujung pada kematian dianggap sebagai perjalanan menuju harapan baru. Inilah puncak dari pesimisme yang outputnya adalah optimisme atas kehidupan yang lain.
Tiga anggapan tersebut jika kita letakkan sebagai tahapan, statusnya adalah saling bertaut, gigit menggigit antara satu dan yang lain. Walaupun demikian, kita tetap sampai pada batas bahwa hidup setelah kematian adalah hidup yang belum bisa kita pastikan benar. Ia bisa jadi ilusi. Ia bisa jadi tak ada. Sejauh kita mengasumsikan kematian itu sendiri ternyata adalah ultimate of life. Tapi itu hanya asumsi. Yang jelas, kemajuan eksplorasi artistik Tontey atas tema yang diusungnya tersebut tetaplah menantang untuk kita ikuti.